Jumat, 30 Mei 2008

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
Oleh : Didik Purnomo ®

Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah menurunkan al-Qur’an ke bumi sebagai petunjuk, pedoman dan pengetahuan bagi manusia.


Sholawat serta salam tetap dan terus mengalir kepada Nabi Muhammad Saw. manusia yang mempunyai jasa besar sebagai perantara turunya al-Qur’an kepada umat manusia.
Sesungguhnya al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah disampaikan kepada kita ummatnya dengan jalan mutawatir, yang dihukumi kafir bagi orang yang mengikarinya.

Al-Qur’an adalah sebuah undang-undang bagi agama Islam, yang diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari Sang Ilahi, tanpa ada campur tangan manusia dalam merubah atau menggati lafadz serta ma’nanya.

Ibarat pengemudi yang akan mengantarkan penumpangnya ke jalan lurus selamat dan sukses di dunia maupun di akhirat, ia tidak akan membawa penumpangnya menjadi tersesat dijalan, ataupun menjadi bingung dengan jalan yang banyak bahkan murtad, namun ia akan menjadikan penumpangnya merasakan ketenangan, mendapat petunjuk dan mengantar ketujuan penumpang dengan selamat.

Akan tetapi, terkadang juga ada penumpang yang masih mempunyai keraguan dalam hatinya, terhadap jalur arah dan tujuan yang ditempuh si pengemudi ini, dia masih melihat kanan-kiri jalan, apakah jalannya sudah lurus apa tidak ?.

Tidak sedikit dari kalangan orang Islam sendiri yang masih teromabang-ambingkan dalam laut keyakinan, yang bisa juga, menjadikan orang Islam itu sendiri tenggelam dalam jurang kesesatan, padahal sudah jelas kita sudah mempunyai peta dan petunjuk untuk menempuh lautan dunia.

Fonemana yang sering terjadi ditengah-tengah perjalanan kehidupan kita, terkadang juga kita masih merasakan lemah dan tipisnya pengetahuan tentang agama Islam, apalagi dikhalayak masyarakat yang sangat sensitif sekali dengan masalah keyakinan, karena keyakinan agama mereka terbentuk berdasarkan budaya disekitar yang masih berpontensi besar bergoyang dan bergesar kekiri atau jatuh kebawah. Hal itu semua, tidak lain disebabkan oleh kedangkalan dan buramnya Ilmu pengetahuan tentang agama Islam, baik dari segi isi kandungan al-Qur’an, maupun tentang sejarah pembukuan al-Qur’an.

Dewasa ini para orientalis sudah menyoroti dan memantau setiap aksi atau activitas yang dilakukan orang Islam, mereka sedang mencari cela-cela kelemahan dan kebodohan orang Islam dalam beragama, mereka hendak meruntuhkan ajaran Islam dan keyakinan melalui cela kebodohan itu.

Dikalangan orientalis berusaha menepis sejarah punulisan al-Qur’an, kendati melihat rentang masa lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dengan didistribusikan naskah al-Qur’an ke pelbagai wilayah dunia Islam, banyak mereka memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalah yang menyeruak ke dalam teks al-Qur’an dimasa itu.

Maka dari sini lah pentingnya kita mempelajari historis kodifikasi al-Qur’an pada masa Rasulullah hingga masa Ustman, serta mencari argument-argument yang tidak diragukan lagi kebenaranya untuk menjawab dan mematahkan pendapat para orientalis terhadap al-Qur’an, dan segera menutupi cela jalan bagi orang orientalis yang hendak mendistorsikan permasalah yang benar.

Dalam bahasan kali ini penulis mencoba menyoroti permasalah yang sedang dipermasalahkan oleh para oreintalis yaitu tentang sejarah kodifikasi al-Qur’an dari masa Nabi Muhammad Sw. Masa Kholifat Abu Bakar dan masa Kholifah Ustman bin ‘Afan.

Sekilas mengenai Jama’a
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi.
dalam bahasa arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.

Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mumpunyai dua arti yang nantinya dari ma’na itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas.

Yang pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu : menghafal semuanya.
Dan ma’na yang kedua yaitu : membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu.

Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru ; aku sudah mengumpulkan al-Qur’an setiap malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan al-Qur’an.
Dan selanjutnya yang telah dikatakan Abu Bakar kepada Zayd bin Stabit ; ikutilah al-Qur’an lalu kumpulkanlah, maksudnya tulis al-Qur’an itu semuanya.


Kodifikasi al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw.

Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kebumi melalui seorang Nabi yang tidak bisa menulis dan membaca tulisan, beliau adalah Nabi Muhammad Saw. Walau beliau seorang yang tidak bisa menulis dan membaca pada awal masa kenabiannya, namun rasa semangat dalam menerima wahyu, serta menghafalkannya tidak mengurangi sama sekali. Hal itu dibuktikan ketika dalam proses pentransferan wahyu ke Rasulullah.

Beliau mengikuti dengan seksama, serta perhatian tinggi dalam pengajaran dan pimbingan yang disampaikan oleh malaikat Jibril, ketika dalam proses pentrasferan. Beliau benar-benar memperhatikan lafadz dan huruf yang keluar dari malaikat jibril, serta tidak mau melewatkan satu huruf pun dari al-Qur’an yang tertinggal dari konsentrasi beliau. Hal itu semua karena beliau sangat meperhatikan betul dalam menerima wahyu dari Ilahi.

Sampai Allah SWT. Menggambarkan dalam al-Qur’an, sikap Rasulullah Saw. ketika hendak mengafalkan al-Qur’an, beliau sangat tergesa-gesa dan ingin sekali bisa menguasai al-Qur’an tersebut dalam hatinya.
Allah SWT. Berfirman dalam Surat al-Qiyaamah ayat 16-19, yaitu :
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
“Jnganlah kamu gerakan lidahmu untuk membaca al-Qur’an hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, atas tanggung kamilah penjelasannya.”

Dan setelah Nabi Muhammad Saw. Mengahafal dan memahami al-Qur’an, barulah beliau menyampaikan al-Qur’an kepada sahabat-sahabt, dengan membacakanya pelan-pelan dan penuh perhatian agar mereka bisa mengfalkannya dan mempelajarinya. Semangat mereka dalam mempelajari, memahami dan menghafal al-Qur’an seperti api yang menyala-nyala, karena dari mereka sendiri sangat mencinta terhadap Nabi, Allah Swt dan al-Qur’an, maka dengan landasan bahan bakar kecintaan tersebut, membantu mereka dalam menghafal dan mempelajari al-Qur’an.

Tidak hanya itu yang dilakukan oleh para sahabat terhadap al-Qur’an. Mereka mencoba melakukan suatu upaya yang bisa menjadikan kosentrasi penuh dalam berintraksi dengan al-Qur’an serta menuangkan semua perhatianya dalam mempelajari, memahami dan menghafalnya, seperti yang pernah dilakukan para sahabat yaitu menjauhi kesibukan dunia, menjauhi kehidupan yang mewah, tidak lain tujuannya hanya memberikan al-Qur’an ditempat yang istimewah dalam diri mereka.

Peran Nabi Muhammad Saw. Dalam mendukung sahabatnya untuk menghafal al-Qur’an dan mempelajari selalu didorong terus dengan diberikannya kata-kata hikmah tentang keutamaan orang yang mempelajari dan menghafal al-Qur’an.
Tidak hanya itu saja, Allah Swt. Juga sudah mengatur itu semua, bagaimana para sahabat bisa mempelajari dan menghafal al-Qur’an dengan mudah. Dengan adanya al-Qur’an yang diturunkan berangsur-angsur itu salah satu cara yang menyebabkan mereka mudah dalam menghafal al-Qur’an. Seperti yang sudah Allah SWT. Terangkan dalam surat al-Qomar ayat 17 :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (17)
“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran.”

Dalam kitab sahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Meraka adalah Abdullah bin Ma’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Hudzaifah, Mua’az bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Stabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’. Penyebutan para hafiz tujuh ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab sejarah dan sunan menujukan bahwa para sahabat berlomba-lomba menghafalkan al-Qur’an dan meminta anak-anak dan istri mereka untuk menghafalkannya.

Dari sini sudah bisa diambil kesimpulan bahwa dengan adanya para sahabat menghafal dan mempelajari al-Qur’an, maka hal itu dinamakan kodifikasi al-Qur’an dalam bentuk hafalan. Yang mana al-Qur’an itu semua sudah terkumpul dalam hati mereka.

Pada masa sahabat itu, ada sebagian dari mereka yang selalu berpegang selalu pada hafalan, mereka suka menjadikan hafalan itu sebagai catatan semu yang bisa dibuka sewaktu-waktu, seperti menghafal silsilah, menghafal sya’ir dan menghafal al-Qur’an. meraka tidak mau mencatat apa yang sudah dihafalkan kedalam bentuk tulisan, karena pada umumnya mereka buta huruf, tapi bukan berarti semua orang arab itu buta huruf, maka dari situlah Nabi Muhammad Saw. menyuruh para sahabat untuk menulis al-Qur’an ketika sudah dihafalnya. Karena disamping membantu para sahabat mudah dalam menghafalnya dan untuk menjadikan al-Qu’an itu ada tidak hanya dalam bentuk hafalan, namun harus ada dalam bentuk tulisan, serta dikhawatirkan terjadi sesuatu yang bisa merubahnya, karena al-Qur’an adalah mu’jizat yang apabila dibacanya mendapatkan pahala dari-Nya, maka harus sangat hati-hati sekali dalam menjaganya tetap utuh.

Para sahabat seperti Abu bakar, ‘Umar, ‘Ustman, ‘Aliy, Mua’awiyah, Ibn Mas’ud, Kholid bin Walid, Abi bin Ka’ab, Zaid bin Stabit dan Stabit bin Qoiys, merekalah yang menulis al-Qur’an dalam bentuk tulisan. Akan tetapi tidak ditulis dalam bentuk kertas, melainkan al-Qur’an pada masa itu ditulis diatas potongan batu, kulit binatang, pelapah kurmah. Kerena pada masa itu alat tulis tidak seperti sekarang yang mudah didapat dimana-mana. Jadi penulisan al-qur’an pada masa itu tidak terkumpul pada suatu tempat, tapi terpencar-pencar, dari potongan satu kepotongan yang lain.

Walaupun al-Qur’an ditulis ditempat yang terpisah-pisah, itu bukan berati bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak berurutan antara mana ayat yang pertama dan yang kedua serta seterusnya. Hal semacam itu seperti yang telah dikatakan oleh Zaid bin Stabit : Rasulullah telah wafat, sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya adalah ayat-ayat dan surat-suratnya belum dikumpulkan sama sekali. Akan tetapi Mereka masih membaca al-Qur’an berurutan seperti yang turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karena ketika al-Qur’an deserahkan kepada Rasulullah, malaikat Jibril sudah memberikan petunjuk bahwa mana ayat yang dilitakan di awal dan mana ayat yang diletakan diakhir.
hal itu sudah disinggung dalam hadist Nabi

(ضعوا هذه السورة في الموضع الذي يذكر فيه كذا و كذا)
(كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم نؤلف القرآن من الرقاع)

Hadist diatas menunjukan bahwa ketika malaikat jibril mentransfer al-Qur’an kepada Rasulullah, dia juga menjelaskan kepada Rasulullah bahwa ayat ini letaknya disurat ini atau ayat ini menempati tempat ini. Dan apa yang dikukan malaikat itu bukan karena kehendak dirinya sendiri melaikan atas perinta Allah SWT. Agar meletakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tempatnya.

Penulisan Al-Qur’an pada masa itu menggunakan tujuh huruf, karena al-qur’an itu sendiri diturunkan kebumi menggunakan tujuh huruf. Tidak hanya tulisan al-Qur’an saja yang ditulis oleh para sahabat, melainkan seperti tawil al-Qur’an, nasakh mansukh dan tafsir, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn Mas’ud.

Maka dari itu Nabi Muhammad Saw. Melarang kepada sahabat untuk tidak menulis sesuatu dari Rasullah kecuali al-Qur’an. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim,
“Janganlan kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklan ia menghapusnya”.
Pengertian hadist di atas bukan berarti mempunyai pengertian bahwa dilarangnya para sahabat menulis selain alu-Qur’an karena khawatir tercanpurnya antara tulisan al-Qur’an dengan tulisan lainnya, akan tetapi mempunyai pengertian bahwa Rasulullah hanya menginginkan agar perhatian dan konsentrasi sepenuhnya dicurahkan untuk al-Qur’an.

Salah satu alasan kenapa al-Qur’an pada masa Rasulullah tidak ditulis di satu tempat. Karena turunya al-Qur’an berangsur-angsur itu menandakan bahwa al-Qur’an sendiri berbeda dengan kitab-kitab syamawi yang lainnya. Karena turunya al-Qur’an kebumi berdasarkan terjadinya sesuatu, maka dari itu dilain waktu masih ada kemungkinan ayat satu dinask dengan ayat yang baru turun dan dikarenakan juga, pada masa waktu itu susah adanya peralatan tulis.


Kodifikasi dimasa khalifah Abu Bakar
Lima hari menjelang wafat, Rasulullah Saw berpidato menerangkan keutamaan Abu Bakar ash-Shidik dibandingkan seluruh sahabat lainya, ditambah lagi instuksi nabi dihadapan seluruh sahabat agar Abu Bakar ditunjuk menjadi imam kaum muslim dalam shalat. Setelah Rasulullah Saw. pulang keRahmatullah, maka Abu Bakar lah yang menjadi penggati urusan keIslaman. Dan dari situlah mulai bergerak Musailamah al-Kadzab mendakwakan dirinya adalah Nabi. Dia berupaya membuat activitas yang menyerupai perbuatan Rasulullah Saw. seperti Nabi pernah meludah disebuah sumur yang airnya seketika itu pula menjadi banyak, Musailamah pun meniruhnya dia pernah meludah kesebuah sumur tapi airnya malah menjadi kering, bahkan dia pernah meludah disebuah sumur yang lain namun airnya malah menjadi asin. Banyak sekali khurafat-khurafat dan kebohohan yang diobral Oleh Musailam di kalangan Bani Hanifah salah satunya adalah bahwa ia menerimah wahyu dari Tuhan-nya yaitu :

wahai katak anak dua katak
Bersihkan air kami niscaya kamu akan bersih
Kami tidakpula mencegah orang untuk minum
Kepalamu di air sementara ekormu ditanah.

sehingga ia dapat mempengaruhi Bani Hanifah dari penduduk Yamam, dan banyak sekali dari kalangan orang muslim disana yang murtad, tidak mau membayar zakat, sholat dan sebagainya.
Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah itu, beliau menyiapkan suatu pasukan tentara terdiri dari 4000 pengendara kuda yang dipimpin oleh Kholid bin walid. Pasukan Kholid berangkat untuk menggempur mereka. Dipeperangan Yamamah teresebut diantara para sahabat yang gugur dalam pertempuran tersebut adalah Zaid ibnu Khathabah, saudara ‘Umar dan selain dari pada itu pula 700 penghafal al-Qur’an. Setelah ummat Islam mengeraskan serangan meraka barulah pertolongan Allah Swt datang, dan pasukan Musailamah hancur lalu lari ke kebun kurma. Al-Barra’ ibn Malik. salah satu pasukan orang Islam menaiki tembok kebun untuk masuk kedalam, guna membuka gerbang pintu kebun kurma. Setelah tentara Islam masuk kedalam, barulah Musailah dan kawan-kawanya dibunuh, dan kebun tersebut dinami dengan kebun mati.

Melihat begitu banyaknya sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di medan pertempuran tersebut, maka timbullah Inisiatif ‘Umar ibn Khatab untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an dalam satu tempat, karena dikhawatirkan al-Qur’an pada masa itu yang masih terpisah-pisah dan berada pada penghafal nanti akan musnah, disamping itu juga untuk menjaga al-Qur’an tetap utuh. Maka datanglah ‘Umar kepada Abu Bakar mengutarakan idenya untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an pada satu tempat. Awalnya Abu Bakar menolak usulan dari ‘Umar untuk membukukan al-Qur’an dan keberatan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah Saw. bermusyawarah lah para sahabat dalam malasah tersebut. Dan ‘Umar pun tidak putus asa untuk mendesak dan memberi penjelasan yang bisa dibuat pertimbangan oleh Abu Bakar, bahwa perbuatan ini sungguh mulia, karena mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an dalam satu tempat adalah salah satu perbuatan menjaga dan memeliharanya, disamping itu juga Rasulullah Saw. pernah menghimbau untuk melakukan sesuatu dalam mejaga atau menghafal al-Qur’an, dan hal itu juga bukan suatu perkara yang baru, karena pada masa Rasulullah Saw, beliau memerintah sahabat untuk menulis al-Qur’an di potongan kulit, pelepah kurmah, batu dan lain, tidak lain itu perintah Nabi Muhammad Saw. agar menjaganya, akan tetapi sifat penulisnya masih terpisah-pisah. akhirnya Allah Swt membuka hati Abu Bakar, dan menyetujui dengan usulan ‘Umar. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Stabit untuk memikul tugas yang diberikan oleh Abu Bakar, agar mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an. mulanya Zaid tidak setuju usulan seperti itu, seperti yang dialami Abu Bakar, tapi selanjutnya ia bisa menerimanya.

Zait bin Stabit pun memulai tugas tersebut, dalam tugas tersebut ia dibantu oleh sahabat-sahabat lainnya seperti ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Ustman bin ‘Afan dan Ali bin abi Tholib. dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an tersebut ia bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada penulis. Ia sangat hati-hati sekali dalam pengumpulan nas-nas al-Qur’an, bahkan ia tidak mudah begitu saja menerima nas al-Qur’an yang cuma berdasarkan pada hafalan saja, tanpa didukung dengan tulisan yang mutawatir dari Rasulullah Saw, dan sebaliknya, atau disebut dengan menghadirkan dua saksi.

Selain membukukan dan mengumpulkan al-Qur’an kesatu mushaf, Zaid bin Stabit juga memilah-milah mana bacaan yang tidak dimansukh, ia juga tidak menerimah atau tidak membukukan nash yang tidak mutawatir riwayatnya, mushafnya juga mencakup tujuh huruf, ayat-ayatnya tersusun rapi, sedangkan surahnya masih belum. Maka dari itu dinamakan suhuf bukan mushaf. Suhuf-suhuf yang dibukukan oleh Zaid bin Stabit atas perintah Abu Bakar, berbeda dengan suhuf-suhuf yang dimiliki oleh sahabat-sahabat lainnya, karena suhuhf-suhuf yang dimiliki oleh para sahabat masih belum tersusun rapi dari segi naskhnya, susunan ayat-suratnya dan lainnya.

Setelah Abu Bakar wafat, al-Qur’an disimpan oleh khalifah Umar, dan setelah Umar wafat, al-Qur’an tersebut disimpan oleh Hafsah istri Rasulullah Saw. sengaja Umar menyerahkan Mushaf tersebut kepada istri beliau, karena Hafsah lebih berhak, dan Umar pun mempunyai pertimbangan lain, kalau sendainya mushaf tersebut diserahkan kepada sahabat lainnya, dikhawatirkan akan timbul fitnah dan sebagainnya. Sengaja mushaf yang dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tidak diperbanyak, kendati pada waktu itu para sahabat banyak yang sudah menghafal al-Qur’an.

Kodifikasi pada masa ‘Ustman bin ‘Afan

Penyebaran Islam bertambah luas, para qurra pun tersebar di pelbagai wilayah, dan pendudukan disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qori-qori yang dikirim kepeda mereka. Cara bacaan Qur’an yang meraka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf, yang mana al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Dan apabila meraka berkumpul pada suatu pertemuan atau disuatu medan perang, sebagian mereka merasa bingung dengan adanya perbedaan bacaan ini. Terkedang juga sebagian meraka merasa puas dengan perbedaan bacaan, karena perbedaan tersebut disandarkan pada Rasulullah Saw. tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusup keraguan pada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah Saw. sehingga terjadilah perbincangan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya juga terjadi pertentangan. bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Maka Fitnah yang demikian itu harus segera diselesaikan.

Ketika pengiriminan ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan al-Qur’an muncul dikalangan tentara-tentara muslim, sebagiannya direkrut dari siria dan sebagian lagi di Iraq. Masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, seperti meraka yang dari Syiria memkai qiraat Ubay bin Ka’ab, penduduk Iraq memkai qiraat Ibnu Mas’ud. Mereka menggungakan beberapa qiraat dengan memakai tujuh huruf. dan mereka juga menentang orang yang menyalahkan bacaannya, dan hingga saling mengkafirkan. Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pemimpinan peperangan yaitu Hudzaifah, melaporkan masalah tersebut kepada Ustaman bin Afan.

Titik permasalhanya adalah bahwasanya banyak dari penduduk Saym dan Iraq, bermacam-macam dalam membaca al-qur’an hingga meraka mencampur-adukan dengan dialek mereka. Maka dari itulah khalifah umar menyalin mushaf dengan menggunakan satu bacaan yaitu dengan menggunakan bahasa orang quraiys.

Yang menjadi alasan utama adalah menyatuhkan orang islam dan meniadakan pertingkain, yang telah terjadi dipenduduk dalam mempermasalahkan perbedaan bacaan al-Qur’an. maka dari itu khalifah Umar menyalin mushaf dengan menggunakan satu huruf yaitu bahasa orang quraiys.

Maka Khalifah Umar mengambil langkah yang didukung dengan para sahabat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatuhkan bacaan umat Islam.
Lalu Khalifah Umar pun mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam suhuf-suhuf Abu Bakar yang ada padanya. Kemudia Umar memanggil Zaid bin Stabit, Abdullah bin Zubair, Sa’i bin ‘As dan Abdurahman bin Harist bin Hisyam, ketiga orang terakhir ini dari suku quraiys. Menurut riwayat Ibnu abu Daud ada 12 orang yang bertugas membantu Zaid dalam menyalin mushaf. Lalu meraka diperintah agar menyalin suhuf-suhuf itu dan memperbanyak mushaf. Serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraiys tersebut ditulis kedalam bahasa quraiys, karena al-Qur’an turun dalam logat mereka. Setelah itu mushaf yang telah disalin tersebut dikirim ke bebrapa kota seperti ke Medinah, Kufah, Basroh, Damaskus dan Mekah.

Dan Khalifah Umar memerintahkan supaya membakar mushaf-mushaf mereka yang berlainan. Metode yang dipakai oleh Zaid bin Stabait beserta temannya dalam menyalin suhuf-suhuf yang ada pada Sayidah Hafsah, yaitu menyalin mushaf dengan menggunakan satu qiraat dengan satu huruf dari tujuh huruf.

Dalam ceramahnya 'Uthman mengatakan, "Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka, dan saya menganjurkan kepada siapa saja yang memiliki ayat-ayat yang dituliskan di hadapan Nabi Muhammad. hendaklah diserahkan kepadaku." Maka orang-orang pun menyerahkan ayat-ayatnya, yang ditulis diatas kertas kulit dan tulang serta daun-daun, dan siapa saja yang menyumbang memperbanyak kertas naskah, mula­mula akan ditanya oleh `Uthman, "Apakah kamu belajar ayat-ayat ini (seperti dibacakan) langsung dari Nabi sendiri?" Semua penyumbang menjawab disertai sumpah, dan semua bahan yang dikumpulkan telah diberi tanda atau nama satu per satu yang kemudian diserahkan pada Zaid bin Thabit. Dan antara ayat-ayatnya dan suratnya sudah tersusun rapi.

Sedangkan salah satu kenapa Rasulullah tidak mewajibkan membaca qiraat itu semua dengan menggunakan tujuh huruf, itu karena sifatnya hanya keringanan penduduk pada zaman dulu dalam melafadzkan bahasa arab, maka dari situ Khalifah Ustman memerintahkan kepada Zaid untuk menyalin al-Qur’an kedalam satu Qiraat yang mutawatir dengan memakai satu huruf, dan membakar mushaf-mushaf yang berlainan dengan mushaf baru disalin, ini semua tidak lainya niat baik dari Khalifah Ustman agar umat Islam diseluruh penjuru bisa bersatu dan tidak boleh pecah belah.

Permasalahannya adalah ahli Syam dan Iraq, membaca al-Qur’an dengan huruf dan bacaannya berbeda-beda, sebenarnya meraka tidak salah membaca demikian, karena yang meraka baca, berasal dari para sahabat, seperti ibnu mas’ud ubay bin ka’ab, cuman titik permalahannya adalah dari mushaf-mushaf yang ada pada para sahabat masih tercampur dengan ma’na al-qur’an, ta’wilnya, naskh mansukhnya, dan juga dari generasi kegenerasi yang belum pernah bertemu dengan Rasulullah Saw. serta bacaan al-qur’an yang dibaca para penduduk syam, iraq mengalami pencampuran dengan dialek mereka. dikitab yang lain menerangkan bahwa bacaan mereka seperti bacaan para sahabat, tidak mengalami pencampuran dialek. akhirnya ketika mereka berkumpul disuatu peperangan, mereka terbingungkan dengan perbedaan bacaan al-qur’an yang meraka baca, pertikain tersebut memancing amarah meraka, hingga meraka mengkafirkan satu sama lain. Akhirnya Khuzaifah melapor kejadian tersebut kepada khalifah Ustman. Khalifah khawatir sekali pertingakain ini akan menyala besar dan mengakibatkan terpecahnya orang Islam. Akhirnya Khalifah membuat suatu lajnah yang terdiri dari 12 orang dari suku quraisy dan anshor, yang dipimpin oleh zaid bin stabit. Mereka bertujuan menyalin suhuf-suhuf yang ada pada para sahabat, dan tidak ketinggalan pula suhuf-suhuf yang ada pada Hafsah. Menyalin suhuf-suhuf tersebut menjadi mushaf yang rapi, tersusun, dari segi ayat, surat dan bacaannya. Adapaun bacaanya menggunkan bahasa orang quraiys, sebagaimana al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan logat orang quraiys. Sedangkan untuk masalah apakah mushaf ustamni tersebut menggunakan tujuh hurus atau satu huruf, hal ini masih dalam ikhtilaf ulama’.
Manna kholil al-qottan mengatakan, bahwa Zaid dan kelompoknya menyalin al-qur’an dengan menggunakan satu huruf dari tujuh huruf dan memakai satu qiraat.
Dalam muqorro usuluddin tingakt II, bahwa sebagia ulama mengatakan mushaf Ustmani mengandung tujuh huruf.
Sedengkan sebagai ulama lainnya, mengatakan bahwa mushaf ustmani memakai satu huruf dari tujuh.

Mushaf ‘Ustmani

Terdapat perbedaan diantara Ulama mengenai berapa jumlah mushaf yang dikirim ke kota. Ada yang mengatakan 4 buah mushaf yaitu dikirim ke Kufa, Basra, Syiria dan satu lagi di Madinah yang dibawa oleh Khalifah Ustman. Dan ada yang mengatakan tujuh buah mushaf.

Khalid bin Iyas bin Shakr bin Abi al-Jahm, dalam meneliti Mushaf milik `Utsman sendiri, mencatat bahwa naskah itu berbeda dengan Mushaf Madinah pada dua belas tempat. Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah.



Dengan jelas, naskah `Uthman miliki pribadi sama seperti Mushaf yang ada di tangan kita sekarang. Sedangkan dalam Mushaf Madinah terdapat sedikit perbedaan yang boleh kita simpulkan seperti berikut: (1) satu tambahan dalam ; (2) Tidak ada dalam ; (3) tidak ada dalam ; (4) ada dua dalam ; Semua perbedaan, yang hampir tiga belas huruf dalam 900 baris, akan tetapi tidak mempengaruhi arti setiap ayat dan tidak membawa alternatif lain kepada arti semantik. Mereka juga tidak bisa disifatkan sebagai sikap tidak hati-hati. Zaid bin Stabit memegang teguh prinsip bahwa dalam setiap penemuan bacaan dalam berbagai naskah diperlukan kesahihan, dan status yang sama (equal status), dan kemudian meletakkannya dalam naskah yang berbeda


Banyak ilmuwan yang telah menguras waktu dan tenaga mereka dalam membandingkan Mushaf 'Uthmani, dan melaporkan apa yang mereka dapatkan dengan ikhlas dan tidak menyembunyikan apa pun walau sedikit. Abil Uarda, seorang sahabat terkenal, telah bekerja keras tentang perkara ini sebelum dia meninggal dunia pada dekade yang sama dengan pengiriman Mushaf, dan meninggalkan istrinya (janda) untuk menyampaikan penemuannya. Untuk memudahkan, ketika semuanya dikumpulkan sungguh sangat mengejutkan. Semua perbedaan yang terdapat dalam Mushaf Mekah, Madinah, Kufah, Basra, Suriah, dan Naskah induk Mushaf 'Uthmani, melibatkan satu huruf, seperti: ... dst. Kecuali hanya adanya (dia) dalam satu ayat yang artinya tidak terpengaruhi. Perbedaan ini tidak lebih dari empat puluh huruf terpisah di seluruh Mushaf enam ini.
sedangkan untuk keberadaan Mushaf Ustmani yang khusus itu ternyata memancing perdebatan yang rumit. Berikut ini beberapa pendapat keberadaannya :
1. al-Maqrizi berpendapat bahwa mushaf tersebut dikirim ke Mesir. Pada mulanya mushaf ini ditemukan di perpustakaan al-Muqtadir billah, salah satu dinasti Abbasyiah, lalu dipindahkan kemasjid Amr. Lalu mushaf tersebut dipindah ke masjid Zaenab, pada tahun 1304 H, dan pada akhirnya dipindah dimesjid Hussen. Mushaf tersebut diduga mushaf ‘Ustmani yang khusus.
2. pendapat kedua, bahwa mushaf ini sekarang berada di basrah, mushaf tersebut berada di masjid Ali, karena melihat tetesan dara Ustman pada lembaran mushaf tersebut, ketika khalifah Ustman dikepung oleh perampok.
3. bahwa mushaf tersebut berada di Instambul, tepatnya dimuseum Thub Qabu Saray.

Sampai hari ini terdapat banyak Mushaf yang dinisbatkan langsung kepada ‘Uthman, artinya bahwa Mushaf-mushaf tersebut asli atau kopian resmi dari yang asli. Inda Office Library (London), dan di Tashkent (dikenal dengan Mushaf Samarqand). Mushaf-mushaf ini ditulis pada kulit, bukan kertas, dan tampak sejaman. Teks-teks kerangkanya cocok satu sama lainnya dan sama dengan Mushaf-mushaf dari abad pertama hijrah dan setelahnya, sampai pada mushaf-mushaf yang digunakan pada masa kita ini.

Penutup
Dalam makalah yang masih perlu didiskusikan dan masih banyak kekurangnya dalam isi dan lain sebagainya, boleh kita tutup. Akan tetapi mengenai pembahasannya tidak bisa kita tutup dalam waktu ini saja. Karena melihat begitu banyak perbedaan pendapat mengenai kodifikasi al-Qur’an. Dan melihat penulis makalah ini, terkadang terbingungkan dengan adanya perbedaan kitab satu dengan kitab lainnya, dikarenakan lemahnya pengetahuan bahasa arab. dan mungkin posisi penulis disini hanya memberikan info-info dan sebagai pengantar kegerbang wacana yang lebih luas.
Kebenaran menurut kita belum tentu benar bagi orang lain, kebenaran orang lain belum tentu sama benar dengan kita, dan kebenaran menurut kita semua belum tentu benar bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang tahu segala-galanya.
Untuk itu keritik dan saran yang pedas, sangat ditunggu dan diharapkan pagi penulis sebagai cambuk untuk membuat makalah yang berkualitas lagi.
Wallahu A’lam.





DAFTAR PUSTAKA
1. Ash Shidikiy, T.M. Hasbi ,sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an, Bulan bintang, Jakarta.
2. al A'zami, M.M ,The History of The Qur'anic Text - From Revelation to Compilation, diterjemahkan oleh Sohirin Solihin dkk, gema insani press, 1 april 2005.
3. ghorib, Fathi Muhammad, huquku mahfudzoh lilmualif, muqorror tingakt II.
4. ‘Abas, Fadhi Hasan , ghidzau jinaan bistamrotul jinaan, darul nafais, ordon, cet. I, 2007.
5. Azarqoni, Muhammad Abdul ‘Adhim , manahilul qur’an fi ‘ulumil qur’an, ditahqik oleh ahmad bin ‘aliy, darul hadist, kairo, 2001.
6. Syahbah, Muhammad bin Muhammad, madkol lidiroosati al-Qur’an karim, maktab sunnah, kairo, cet. 3, 2003,
7. al-Qattan, Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterjemahkan oleh Drs.Mudzakir AS, litera antarnusantra dan Pustama Islamiyah.
8. Kastir, Ibnu , Tartib wa tahdzib kitab bidayah wanihayah, diterjemah oleh Abu Ihsan al-Astari, Darul Haq, Jakarta, Cet I, 2004.
9. Anwar Mag, Rosihon ,Samudra al-Qur’an, pustaka setia, Bandung, cet I, 2004.
10. Terjemah al-Qur’an al-karim



1 komentar:

de badruns mengatakan...

Lam kenal. blognya oke men..