Jumat, 28 Desember 2007

Adil

Adil
Oleh : Munir

Sinar matahari yang menembus kelopak mataku membangunkanku dari tidurku, sinarnya yang terasa silau di pupil memaksaku untuk membuka mataku,.” Ah jam berapa ini?”sambil aku gerayahkan tanganku mencari jam tanganku.” Masya allah sudah jam sepuluh”, akupun langsung menendang selimut yang membungkusku sambil berusaha duduk agar mata ini tidak kembali mengantuk.

Kujalankan kaki ini ke kamar mandi yang terletak di depan kamarku, kamar mandi yang kelihatan segar dengan air-air bening yang selalu menetes dari westafel yang sedikit bocor, tetesan-tetasanya menjadikan tempat ini bagai di dusunku yang penuh dengan pohon kelapa dan jambu yang menjulang ke langit dengan buah-buahnya yang terasa menggoda lidah untuk menikmatinya

“ya allah segar sekali air ini”, aku siramkan air westafel ke mukaku yang masih kusut setelah bangun tidur, sambil mengosokkan telapk-telapak tanganku ke mukaku aku tatap jendela kamar mandi yang terhalang kawat-kawat jaruji penghalang serangga-serangga maupun debu yang ingin masuk ke dalam rumah.

Kemudian setelah mencuci muka aku kembali kekamarku dan ganti pakaian, aku lihat beberapa temanku sudah tidak ada di kamar, hanya ada satu yang sedang asyik tidur karena semalam bergadang sampai pagi.

Sambil menyalakan komputerku aku mengingat-ingat tanggal dan hari, dan”ya allah ini hari kamis” aku langsung terperanjat lari melihat dapur, “ya inilah hari dimana aku wajib masak, teman-teman akan berteriak-teriak jika nanti tidak ada makanan yang tersedia”, kulihat dapur kosong tidak ada sayur yang bisa aku masak. Aku buka kulkas, ternyata si daging korban juga sudah amblas tanpa bekas, yang tertinggal hanya bungkus-bungkus plastic yang basah karena air kulkas yang menetes.

“ah belanja lagi nih”, keluhku dalam hati, kemudian aku mengambil beberapa pound uang rumah untuk membeli sayur, namun sebelum pergi aku memasak nasi terlebih dahulu dan kebetulan ada temanku yang beru datang dan aku suruh dia untuk mengawasi nasi yang barusan aku masak agar tidak gosong.

Sambil memakai switer putih aku berjalan keluar rumah, kutup pintu rumahku pelan-pelan, dan kupakai sepasang sandal jepit hitam yang sudah pedot (putus) satu. Aku gerakkan kakiku menuju ibu tukang sayur yang biasa menjadi langgananku. Namun sial datang padaku, ibu yang menjadi langgananku ternyata sedang libur, rasa kesal kemudian mulai timbul karena satu-satunya penjual sayur yang ada di daerah ini hanya ibu itu.

Akupun terpaksa berjalan ke gang madarasah yang jaraknya cukup lumayan jauh hanya untuk sekedar membeli sabana dan beberapa sayur yang aku butuhkan.

Kulihat satu toko sayur yang sudah di kerumuni beberapa pembeli, penjualnya seorang laki-laki yang kelihatanya berumur sekitar 30 tahun, aku menghampiri toko itu, ku lihat beberapa sayur masih kelihatan segar, mungkin baru datang dari desa, daun-daunya masih tampak hijau dan tanpa layu sedikitpun, batotis(kentang) terlihat masih sedikit bercampur dengan tanah yang terlihat masih basah.”ah masih segar sayur-sayur disini”, bisikku dalam hati, kemudian tanpa ragu-ragu aku langsung menunjuk sabana yang terlihat segar dan bertanya ke pembelinya, “bikam sabana ya ‘ammu?’’(paman, berapa harga sabana?), “aish kem?”(ingin berapa banyak?)Tanya paman itu padaku, “isnin”, (dua), jawabku singkat padanya, paman itu langsung mengambil 2 ikat sabana yang tertumpuk di keranjang sayur dekat sayur kol, sebelum paman itu membungkusnya aku bertanya padanya,” satu ikat berapa paman?”, diapun menjawab dengan singkat “satu ikat 1.50 pound”, dan lansung memasukkanya dalam plastic.

Sambil menghitung uang yang aku bawa dari rumah tadi aku kemudian menunjuk wortel yang berada di depanku, dan kembali aku bertanya padanya seperti diatas, bertanya harganya, si paman menjawabnya dengan 2 pound perkilo, dan aku suruh dia menimbangkan satu kilo untukku, dipun langsung mengambilkanya dan menimambangnya, aku berdiri di sampingnya ketika dia menimbang, kulihat timbangan itu naik turun karena beban diatasnya.

Aku perhatikan terus timbangan itu, sesekali timbangan itu membuatku terkagum karena mampu mengukur beban dimana manusia akan sangat kesulitan melakukanya. Namun tiba-tiba aku terkejut melihat tinbangan yang kelihatan adil itu telah diselipi dengan kunci yang terbuat dari tembaga oleh penjualnya,”ya allah apa maksud semua ini”, gumamku dalam hati dengan perasaan agak menyesal melihat semua itu, kejadian itu membuatku teringat masa kecilku, saat itu aku juga melihat hal yang sama, ketika ibuku membeli beberapa kilo terigu yang ditimbang di timbangan yang terbuat dari besi, saat itu terlihat olehku sisi timbangan yang dibuat menaruh terigu di bawahnya telah di selipi 3 buah paku berukuran sedang, yang menjadikan beban dibagian terigu itu lebih berat.

Hal ini membuatku semakin mengerti ternyata berbuat adil memang tidakklah semudah mengucapkan kalimat adil itu dalam lisan kita, begitu beratnya berbuat adil meskipun dalam hal sekecil apapun.

Setelah aku langsung bertanya jumlah harga keseluruhan sayur yang telah aku pesan tadi pada paman penjual. Dengan memberikan bungkusan plastic yang berisi sayur-sayuran tadi dia berkata padaku” semuanya 8.25 pound”, tak banyak bicara lagi aku langsung mengulurkan uang 10 pound pada pembeli itu, dan setelah memberikan kembalianya aku langsung kembali kerumahku meneruskan kewajibanku.

sumber :http://padang-mesir.blogspot.com/

Tidak ada komentar: