Jumat, 28 Desember 2007

Bangkit!!

Bangkit!!
Oleh Kholis Hamdani

"Aku adalah orang Indonesia yang beragama Islam dan menjadi pendukung Liverpool".

Tentu saja kalimat itu akan terdengar ganjil jika dipakai untuk sebuah perkenalan. Selain kalimat tadi terkesan aneh, juga mungkin akan membuat orang bertanya; apa hubungannya orang Islam Indonesia dengan klub sepakbola yang bernama Liverpool?. Jawabannya: memang tidak ada hubungannya!.

Tapi ada satu benang merah yang bisa ditarik jika kalimat tadi diberi lanjutan "aku juga suka sejarah". Ya, sejarah. Ketiga kata benda tadi, Indonesia, Islam, dan Liverpool, masing-masing mempunyai sejarah panjang yang gemilang. Ketiganya pernah menjadi kekuatan yang disegani pada masa lalu, tentunya pada ranah yang berbeda. Benang merahnya akan semakin "merah" jika kita juga perhatikan bahwa mereka saat ini telah kehilangan kekuatannya dan sedang berusaha mengembalikan kejayaan masa lalu itu.

Kita mulai dari Indonesia.

Indonesia, atau lebih tepatnya Nusantara, pernah berkibar sebagai kekuatan yang besar. Bahkan konon, pernah membuat marah kekaisaran Tiongkok yang besar itu. Itu terjadi pada masa kerajaan Singosari, cikal-bakal Majapahit yang raja terakhir dan terbesarnya, Kertanegara, pernah dengan enteng menerima permintaan upeti dari kekaisaran Tiongkok dengan mengiris daun telinga sang utusan Cina dan memulangkannya kembali!. Akibatnya tentu bisa ditebak, Kubilai Khan, raja mongol yang waktu itu berhasil menguasai Tiongkok, mengirim armada laut untuk menghukum Kertanegara.

Niat Kubilai Khan untuk menghukum Singosari tidak terlaksana karena si terdakwa, Kertanegara, sudah lebih dulu menjadi mendiang gara-gara pemberontakan Jayakatwang. Sial bagi Jayakatwang, karena armada Tiongkok itu kemudian "dibelokkan" oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara dan kelak menjadi pendiri Majapahit, untuk menggempur Jayakatwang.


Beberapa abad sebelum kerajaan Singosari muncul, di Sumatera telah dengan kokoh berdiri kerajaan Sriwijaya. Ia adalah kerajaan pertama yang mempunyai watak Nusantara. Luas kekuasaan kerajaan ini sampai pesisir Sulawesi dan kepulauan Maluku di timur, Semenanjung Malaya di barat, dan kepulauan Filipina di utara.

Sriwijaya juga merupakan pusat perkembangan dan pengajaran agama Budha Hinayana pada masanya. Ini bisa dibuktikan dari cerita-cerita tentang banyaknya orang asing yang belajar agama Budha di sana.

Keberadaan kerajaan ini pernah lama dilupakan orang, juga oleh orang-orang yang sebenarnya adalah penduduk ibukotanya, Palembang. Baru pada kira-kira tahun 1920an, ketika seorang ilmuwan Perancis, George Coedès menerbitkan hasil penemuan dan tafsirannya dalam bahasa Belanda dan Melayu, kerajaan Ini kembali disebut-sebut.

Kebesaran kerajaan ini bisa kita tandai, dengan sedikit simplifikasi, dari nama sebutan yang diberikan oleh bangsa lain. Bangsa Cina menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi, Bangsa Arab menyebutnya Zabag, Sansekerta menamainya Yavadesh dan Javadeh. Dari nama-nama ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Sriwijaya telah mempunyai hubungan diplomatik, atau paling tidak hubungan dagang, dengan berbagai bangsa yang memberi nama untuknya itu.



Watak Nusantara dari kerajaan Sriwijaya, kemudian diteruskan oleh Majapahit. Sebagian sejarawan menyebut Majapahit sebagai kerajaan terbesar yang pernah hadir di Nusantara. sebagian yang lain tidak setuju dengan pendapat ini, dengan dalih bahwa Majapahit hanya mampu bertahan hidup dalam rentang waktu yang relatif singkat, sekira dua setengah abad saja.

Lepas dari kontroversi tadi, Majapahit memang adalah kerajaan Nusantara dengan cakupan wilayah yang paling luas yang pernah ada. Luas wilayah ini mirip dengan wilayah Indonesia modern sekarang ini.

Tentu saja kerajaan Majapahit yang besar itu tidak bisa kita bayangkan sebagai negara/kerajaan modern yang memancangkan tonggak batu penanda tapal batas pada setiap wilayah kekuasaannya. Kedaulatan Majapahit atas kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara lainnya bisa kita tandai dengan pengakuan tunduk oleh kerajaan lain untuk bernaung di bawah "perlindungan" Majapahit, dan dengan demikian, harus mengirim upeti tahunan ke ibukota. Dan upeti itulah tanda bahwa suatu daerah masih loyal pada kepemimpinan Majapahit.



Jika kelangsungan hidup dari Sriwijaya sampai pada Majapahit itu kita asumsikan sebagai satu satuan proses menuju apa yang disebut sebagai satu bangsa, maka proses itu pernah mengalami jaman kegelapan dengan adanya kolonialisme, mulai dari Portugis, Inggris, Belanda, sampai Jepang. Kolonialisme ini juga bisa kita anggap sebagai sebuah interupsi atas laju Islamisasi yang mulai muncul beberapa abad sebelumnya, yang belum mempunyai kesempatan untuk mematangkan diri dan memetik buahnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang bermunculan pun langsung mendapat tantangan dari penjajahan ini tanpa ada waktu untuk "mengkonsolidasikan" diri menjadi kerajaan yang kuat.

"Jaman kegelapan" ini berlangsung sampai awal abad duapuluh, ketika di Nusantara mulai terdengar bibit-bibit kebangkitan untuk mengusir penjajah dan menjalankan pemerintahan sendiri tanpa melibatkan Belanda, ataupun penjajah siapa juga, sebagai "kepala rumah tangga". Usaha ini berhasil dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Tentu saja, proses untuk mengembalikan kejayaan masa lalu itu tidak bisa hanya dengan proklamasi kemerdekaan. Kemerdekaan dari kolonialisme hanyalah, pakai istilahnya Bung Karno, "jembatan emas" menuju apa yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Dan sampai saat ini, akhir 2007, proses itu masih dan akan terus berlangsung.

=====

Sekarang kita beralih ke Islam.

Islam, atau lebih tepatnya kerajaan-kerajaan yang mengambil Islam sebagai motor penggerak dan semangat juang, pernah melalui jaman keemasan yang agung dan mengagumkan.

Dimulai dari keinginan para Khalifah untuk mengirim ekspedisi ke luar sebagai usaha penyebaran Islam, juga sebagai usaha penguatan "benteng-benteng" perbatasan dari segala macam rongrongan kekuatan luar, penyebaran Islam ke luar Arab berjalan.

Proses ini mencapai puncaknya ketika kekuatan Islam mampu menancapkan pengaruhnya mulai Spanyol di barat sampai ke perbatasan India dan Cina di timur. Baghdad, yang menjadi ibukota kerajaan pada masa dinasti Abbasea, menjadi kota pusat dari ilmu pengetahuan, ekonomi, dan seni-budaya. Peran Baghdad ini disaingi dan kemudian diteruskan oleh kota Cordoba/Qurthubi di Spanyol ketika Baghdad mengalami kehancuran di tangan tentara Tartar.

Tongkat estafet dari kerajaan-kerajaan Islam ini kemudian jatuh ke tangan Turki Ustmani. Munculnya kekuatan Turki dalam sejarah Islam pun bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ia telah merasuk ke dalam dinasti Abbasea mula-mula sebagai budak/mamluk, terus berkembang hingga menjadi tentara bayaran, hingga akhirnya menguasai bidang-bidang penting dalam birokrasi dan roda pemerintahan dinasti Abbasea. Sampai pada akhirnya mampu mendirikan kerajaan sendiri, yaitu Turki Seljuk.


(Peta wilayah kekuasaan Dinasti Abbasea)


Hampir sama dengan apa yang terjadi pada Nusantara, juga pada kawasan lain di Asia dan Afrika, kekuatan Turki Ustmani inipun kemudian remuk redam oleh kolonialisme. Yang menjadi pembeda adalah bahwa Imperium Turki merupakan salah satu kekuatan besar yang ikut dalam "perlombaan" kolonialisasi yang kemudian salah memilih teman. Turki memilih sekutu yang ternyata kemudian menjadi pihak yang kalah perang. Konsekwensinya jelas, wilayah kekuasaan yang sangat luas dari kerajaan Turki Ustmani kemudian dijadikan banca'an oleh pihak yang menang perang.

Upaya dari negara-negara bekas wilayah Ustmani untuk bangkit pun sudah didengungkan. Di Mesir, usaha renaissance ini sudah mulai berkembang sejak dua abad yang lalu, dengan nama-nama populer sebagai pelopornya. Sebut saja Jamaluddin Al-Afghani, Rifa'at At-Thahtawi, dan, tentu saja, Muhammad Abduh. Usaha untuk bangkit dengan "meniru" Barat yang modern, maju, dan kuat dalam hal ilmu pengetahuan pun sudah diupayakan.

Kerja renaissance itu pernah mangalami goncangan hebat ketika, dengan "tiba-tiba" dan dengan bantuan Inggris, Israel memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Seluruh negara Arab pun mengevaluasi kembali pandangan mereka terhadap dunia Barat. Dan pada titik inilah, Arab yang mencoba bangkit menjadi kurang bersimpati terhadap kemodernan yang ditawarkan Barat. Renaissance yang diimpikan pun mengalami setback. Dan sekarang, akhir 2007, teriakan untuk memulai kembali proses kebangkitan Islam itu, sudah terdengar kembali.

=====

Bagaimana dengan Liverpool?.

Nasib Liverpool hampir sama dengan apa yang dialami oleh Islam dan Nusantara. Klub sepakbola yang terkenal dengan anthem You'll Never Walk Alone ini tengah mengalami masa suram yang telah berlangsung hampir dua dekade. Suatu kurun waktu yang sangat lama untuk klub sebesar Liverpool. Sedikit pembeda dari nasib Liverpool dengan keduanya adalah bahwa sampai saat ini, Liverpool masih merupakan klub yang tersukses di tanah Inggris, sedangkan Islam dan Nusantara adalah "klub" yang berjuang di "zona degradasi".



The Reds, julukan Liverpool, mengalami masa puncak kejayaan pada dekade 70an dan 80an. Dimulai dari era Bill Shankly, pelatih yang terkenal suka ceplas-ceplos dalam berbicara ini dianggap sebagai pelatih yang membangun pondasi dari kebesaran Liverpool. Ia memang hanya tiga kali mengantarkan The Reds menjuarai liga Inggris, Tapi ia jugalah yang mencamkan kepada para Kopites, julukan untuk fans Liverpool, juga pada publik Inggris, bahwa Liverpool adalah klub yang besar.

Penerus dari Bill Shankly adalah Bob Paisley. Jika Shankly dianggap sebagai peletak pondasi, maka Paisley adalah sosok yang "membangun rumah". Di tangan paisleylah Liverpool benar-benar menjadi klub tersukses di Inggris, dan salah satu yang terbesar di Eropa.

Selama pengabdiannya yang sembilan tahun, Paisley membawa The Reds memuncaki liga Inggris sebanyak enam kali, menjuarai piala Champions tiga kali, dan piala UEFA dan Super Eropa masing-masing sekali.

Setelah era Paisley, Liverpool masih meneruskan tradisi suksesnya dengan menjuarai Piala Champions edisi '84 dan juara liga Inggris tiga kali. Terakhir kali The Reds menjadi jawara adalah pada tahun 1990, di bawah kepelatihan Kenny Dalglish, pemain legendaris Liverpool yang aktif pada era Bob Paisley.

Dekade terakhir dari abad 20 adalah jaman kegelapan bagi Liverpool. Masa sepuluh tahun itu dilewati dengan hanya mampu menambah satu piala FA dan sebiji piala liga, keduanya adalah piala "kelas dua" untuk klub sebesar Liverpool.



Usaha kebangkitan mulai dihembuskan oleh The Reds memasuki milenium baru. Tahun pertama berhasil menduduki peringkat dua pada klasemen akhir liga dan mencetak Threble, yang lagi-lagi, kelas dua, yakni Piala FA, Piala Liga, dan yang lumayan bergengsi adalah Piala UEFA.

Tanda kebangkitan Liverpool yang paling fenomenal terjadi pada tahun 2005. Di bawah ahli taktik Rafael Benitez, The Reds berhasil menjuarai Liga Champions dalam partai final yang siapapun pasti menyetujuinya sebagai final paling dramatis dalam sejarah Piala/Liga Champions. Itu bukan hanya comeback yang paling fantastis dalam satu pertandingan, tapi juga merupakan tanda kembalinya kejayaan Liverpool dalam kancah Eropa.

Sejak menjadi jawara eropa itu, Liverpool bergabung kembali dalam kelompok elit Eropa. Dalam negeri pun selalu menjadi penantang serius untuk perburuan juara liga setiap musim baru bergulir. Tapi sampai saat ini, gelar penghapus dahaga itu tak kunjung datang. Dan kini, akhir 2007, saat liga sampai pada pertengahan musim, Liverpool masih saja berkutat pada penyakit lamanya, inkonsistensi.

========

Dari ketiga kontestan "lomba" menuju kebangkitan itu, layak kita tunggu siapa yang berhasil meraihnya. Dan saya, yang memiliki keterikatan dengan ketiganya, dan mempunyai ketertarikan dengan benang merah yang menghubungkannya, yakni sejarah, tentu berharap ketiganya sukses. Tapi sayangnya, hanya Liverpool yang saya rasa memiliki peluang paling besar. Bagaimana dengan Anda?

Sumber http://www.pancaksara.blogspot.com/

Tidak ada komentar: