Jumat, 28 Desember 2007

Aku dan Sepotong Kata Jancok

Aku dan Sepotong Kata Jancok
Oleh Polan Hamdani

Jancok adalah kata yang paling sering aku ucapkan hari ini, baik sekedar terlintas dalam hati maupun langsung muncrat dari mulut dengan otot menegang. Ia adalah kata paling mantap untuk makian, mungkin sepadan dengan kata fuck dalam bahasa inggris. Motherfucker adalah mbo'ne ancuk, fuck off itu diancuk, derivasi dari jancok dengan bobot makian yang lebih kasar. Maaf kalau kata-kata diatas sama sekali tanpa melalui proses sensor, pakai tanda * misalnya. Seperti aku bilang tadi, aku sedang akrab dengan jancok.

Bermula dari "proses bangun tidur" yang kurang ideal, jancok pertama untuk hari ini terucap. Bangun tidur, atau lebih tepatnya masa kira-kira tiga menit setelah mulai sadar dari keadaan tidur, bagiku, adalah saat-saat yang peka. Humor selucu apapun, biasanya sama sekali tak merangsang saraf tawaku untuk bereaksi jika terjadi di saat itu. Dan idealnya, masa tiga menit itu aku habiskan di kamar mandi, merokok sambil memenuhi panggilan alam, juga untuk menetralisir keadaan yang berubah dari tidur ke keadaan jaga. Itu sudah merupakan ritual. Dan, "jancok!!!", kamar mandi sedang dipakai orang.

Jancok yang pertama ini sebenarnya hanya karena kecewa ritualku terganggu, bukan pada pemakai kamar mandi yang entah sedang apa itu. Tapi ketika sampai setengah jam kemudian kamar mandi masih juga occupied, jancok kedua, ketiga, dan seterusnya pun berhamburan dari bibir.

Jancok berhamburan lagi ketika mengetahui bahwa ternyata sarapan untuk hari ini telah habis tak bersisa. Bisa aku maklumi sebenarnya, karena memang orbit jagaku berlainan arah dengan teman-teman yang lain, mungkin juga dengan manusia normal lainnya. Bagaimanapun, aku masih merasa berhak untuk setidaknya mencicipi makan malam mereka sebagai sarapan pagiku. Tapi ternyata tidak untuk hari ini. Apa mau dikata, mie instan tak apalah.

Dengan permulaan hari yang demikian buruk, bisa dipastikan moodku hari ini akan langsung down. Tapi ternyata tidak. Hariku cerah kembali setelah menyaksikan Liga Champions, Liverpool menang 4-1 atas Porto dan Torres nyetak dua gol!. Tapi itu bukan berarti jancok tak hinggap di bibir lagi. Dalam masa 2 kali 45 menit itu saja, entah berapa butir jancok aku umbar, selain karena permainan Porto yang sesekali membahayakan gawang Liverpool, juga karena kesempatan-kesempatan yang dibuang percuma oleh Benayoun, Babel dan lainnya. Juga saat melihat cuplikan-cuplikan gol pada petandingan lain, jancok akrab lagi denganku, terutama ketika terjadi gol yang, katakanlah, spektakuler, seperti golnya Marseille ke gawang Besiktas yang dicetak oleh Taiwo dari jarak hampir setengah lapangan itu. Jiancok!!, makan apa dia sampai bisa menendang bola demikian kencangnya, pakai kaki kiri lagi!:D.

Pulang dari cafe tempat aku nonton bola itulah aku mulai kepikiran. Bukan tentang nasib Liverpool di Liga Champions yang sampai kini masih berat. Kalau masalah itu, biar Om Rafa yang menanganinya, toh dia jagonya untuk kasus must-win game, seperti laga penentuan dua pekan lagi melawan Marseille.

Yang membuatku kepikiran adalah tentang betapa fasihnya aku melafalkan jancok. Aku mulai dengan menapaktilasi hubunganku dengan kata yang satu itu. Perkenalanku dengan jancok bisa dibilang "agak terlambat", juga terjadi di tempat yang sebenarnya kurang tepat; pondok pesantren. Kalau aku ceritakan secara "kronologis", kira-kira begini jadinya:

Sampai pada kira-kira kelas dua Tsanawiyah, kata jancok masih merupakan kata asing yang tak mungkin aku ucapkan. Mengucapkan kata itu mungkin setingkat di bawah zina dan mencuri dalam hal kadar dosa yang ditanggung. Agak dibesar-besarkan memang, tapi pada saat itu, jancok sungguh haram diucapkan. Kalaupun terpaksa "harus" memaki, paling-paling "jangkrik" adalah gantinya, itupun harus dilanjutkan dengan istighfar sebagai ekspresi penyesalan.

Sebagaimana tipikal anak yang tumbuh di pedesaan jawa, masa kecilku berporos pada madrasah dan surau atau masjid. Pagi pergi ke sekolah, siang bermain -apa saja, kelereng, "benthik", sepakbola- sampai menjelang sandikala datang, karena nenek bilang pada saat itu Bathara Kala sedang turun mencari mangsa. Di kemudian hari aku menemukan penjelasan yang logis tentang sandikala ini dari Ahmad Thohari. Dia menjelaskannya sebagai saat keimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi. Bagiku, sandikala bukan hanya peralihan dari siang ke malam, tapi juga dari kotor ke necis, dari "nyeker" ke sandalan. Saat maghrib tiba, mulailah kehidupan malam untuk anak-anak desaku. Kebanyakan pergi ke surau untuk ngaji, sampai waktu Isya' datang, atau bisa sampai jam sepuluhan jika ada acara Dziba'an. Tapi ada sebagian yang masih tetap keluyuran, dengan pakaian yang masih kotor sisa bermain tadi siang. Dulu kami menyebut mereka "anak geng", anak yang nakal dan bandel di sekolah, juga suka curang kalau bermain, tapi sebenarnya hanyalah anak yang kurang mendapat perhatian yang cukup dari orang tua mereka. Dan merekalah yang sering mengucapkan jancok. Jancok adalah bahasa eksklusif untuk kalangan mereka yang tidak sembarang anak berani mengucapkannya, termasuk aku.

Tapi itu dulu, sudah lama sekali.

Saat melanjutkan sekolah dan sekalian mondok ke Tambakberas, aku semakin sering mendengar kata jancok terucap. Pada awalnya memang sangat mengejutkan mengetahui "kata kotor" itu begitu populer di tempat yang seharusnya religius seperti pondok pesantren. Kekagetanku mulai hilang ketika menyadari bahwa kata itu ternyata juga mempunyai makna lain di sebagian daerah Jawa Timur, terutama sekali daerah Bangil. Di sana, Jancok adalah bahasa pergaulan untuk membumbui percakapan. Seakan sebuah percakapan kurang lancar, atau bisa juga dianggap garing jika tak dibumbui dengan jancok. Daerah lain dimana jancok membudaya sepengetahuanku adalah Surabaya dan Malang, walaupun mungkin tak "separah" Bangil.

Walaupun mengetahui bahwa jancok ternyata juga merupakan bahasa pergaulan untuk sebagian orang, aku masih belum berani mengucapkannya sembarangan. Hati ini rasanya tak tega kata yang sangat kasar itu meluncur keluar, juga lidah terasa kelu untuk sekedar membisikkannya. Sebisa mungkin aku manahan diri untuk tidak ikut-ikutan mengucapkannya, toh masih banyak teman-teman lain yang perkataannya dihiasi dengan kata-kata religius, seperti Astaghfirullah, Innalillahi, dan sebagainya.

Tapi itu semua pada paruh pertama masa mondokku yang empat tahun.

Paruh kedua merupakan lembaran baru yang kontras bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat inilah aku mulai berubah dari "anak baik-baik" menjadi anak "kurang-baik". Aku mulai bersentuhan dengan rokok, begadang sampai pagi sambil main remi di kamar pondok yang terkunci dari dalam, juga hampir kena DO gara-gara absen yang melebihi batas. Pertama kali nonton film porno juga terjadi pada "fase" ini. Maka tak heran jika aku pun mulai mencoba-coba mengucapkan jancok. Mulanya memang untuk hal-hal yang benar-benar membuat marah, tapi lama-lama, jengkel sedikit pun sudah cukup membuat jancuk muncrat dari bibir, seperti tak kebagian sandal saat mau pergi sekolah dengan terburu-buru, atau antri WC yang kelewat lama.

Sampai pada "fase" ini, jancok sudah mulai familiar di bibirku. Tapi masih merupakan kata kasar yang hanya pantas diuarkan pada saat tertentu. Pun kuping masih panas jika kata itu ditujukan padaku, walaupun itu hanyalah bumbu obrolan tanpa maksud memaki.

"Fase" selanjutnya dari hubunganku dengan jancok adalah saat dimana jancok telah kehilangan maknanya sebagai sumpah serapah. Ia terucap bukan selalu berarti kemarahan sedang memuncak. Ia tak lebih hanyalah kata gaul yang menghiasi percakapan-percakapanku dengan teman. Toh mereka juga "cak-cok cak-cok" tanpa sesal. Bahkan kawan-kawan yang berasal dari Jawa Tengah pun, yang sepengetahuanku tak mengenal kata jancok dalam kosakata mereka, tak kalah fasihnya mengucapkan kata itu. Jancok sudah menjadi, pinjam istilahnya Andreas Harsono, bahasa perkoncoan untuk pergaulan sehari-hari.

Dalam Ushul fiqh ada kaedah yang berbunyi begini: Al hukmu yaduru ma'a illatihi, wujudan wa 'adaman. Maksud gampangannya kira-kira begini: Status hukum atas suatu masalah, harus melibatkan motif yang melatarbelakangi kemunculan masalah itu. Harapanku, kaedah itu bisa diterapkan untuk kasus jancok ini. Itu artinya, dosa yang setingkat di bawah zina dan mencuri itu, tak layak lagi aku sandang hanya karena aku menguarkan kata jancok, yang aku ucapkan tanpa motif memaki, minimal tanpa maksud memaki yang serius karena marah. Semoga saja!.

Sumber : http://pancaksara.blogspot.com/2007/11/aku-dan-sepotong-kata-jancok.html

Tidak ada komentar: